Bandara selalu
menjadi saksi dari setiap pertemuan dan perpisahan, dan kali ini bandara
menjadi saksi dari pertemuan kita kembali. Percayalah, setelah kau gagal
mengantarku ke bandara waktu itu, aku berfikir tak akan ada lagi pertemuan
selanjutnya, ternyata aku salah, kita bahkan bertemu dan menciptakan pertemuan
yang luar biasa membekas dalam ingatanku.
Hari
pertama,
Kami masih saja
berdebat siapa yang akan menunggu di Bandara saat itu, aku atau dia, dari
jadwal sebenarnya kami hanya selang 15 menit, dan aku yang akan sampai
terdahulu di Bandara tempat kami mengawali perjalanan panjang itu.
Nyatanya pesawat
kami berdua delay, jadwal mundur
dengan waktu yang tak pasti. Kami berdua yang masih dengan sisa-sisa lelah dari
pekerjaan masih bisa saling menertawai apa yang akan terjadi setelah itu, namun firasat aku sudah mengatakan bahwa rencana yang kita
susun sedemikian rapi akan berantakan,- dan benar itu terjadi. Dia berangkat
terlebih dahulu, parahnya dia sudah sampai di tujuan dan aku masih di dalam
pesawat untuk terbang ke arahnya.
Kedatanganku disambut dengan Bandara Juanda yang sudah sepi, hanya beberapa orang yang dengan
gelisah menunggu di luar, salah satunya dirinya dengan sandal swallow biru yang
selalu dia banggakan itu. Akhirnya kami bertemu lagi, dia tak banyak berubah
hanya saja badannya semakin subur mungkin karena makanannya di sana adalah
makanan yang berkalori semua.
Setelah
menghabiskan Soto Ayam, kami bergegas ke Terminal untuk melanjutkan perjalanan
yang masih sangat jauh. Namun karena kedatanganku yang sudah sangat larut sehingga
sudah tidak ada Bis langsung ke Bali, jadi kita harus mencari alternative lain yaitu ke Banyuwangi.
Awalnya kami
naik Bis Kecil tapi berAC, namun kejadian berubah kami harus pindah ke Bis yang
non AC (Dioper) sebanyak 3 kali. Aku selalu
melihat raut wajahnya saat kami berpindah lagi, mukanya sudah sangat kusut dan
aku pasti tau dia sudah mengumpat di dalam hati bahwa betapa sialnya kami hari itu, hahhaa sedangkan aku hanya berusaha untuk menikmatinya. Mungkin benar kata orang, “seberat
apapun kondisimu, jika kamu melaui dengan orang yang kamu sukai maka semuanya
tidak seberat yang kamu bayangkan”.
Bukan cuman
ganti bis sebanyak 3 kali, kami juga sempat naik angkot ke pelabuhan Ketapang, karena bisnya berhenti di Terminal yang sangat dekat dengan Pelabuhan, padahal aku yang sudah berkali-kali naik Bis dari Jawa ke Bali selalu tidak
pernah sekalipun naik angkot. Entah semesta sedang merencanakan apa.
Perjuangan tidak
sampai di situ, saat perjalanan ke Denpasar menggunakan Bis
(gilimanuk-denpasar) mendadak Bisnya harus mengoper kami lagi ke bis yang lain
karena ACnya rusak, hahaha bayangkan saja kami harus turun lagi dari Bis, dan menunggu
Bis lain untuk melanjutkan perjalanan. Bis apa yang kami dapat? Bis non AC yang
duduk saja harus setengah pantat karena penuh, padahal jarak ke Denpasar masih
sekitar 1,5 jam. Seketika rasa ngantuk yang sebenarnya masih ada sekejap hilang
karena aku duduk bersampingan dengan anak muda yang mantanya selalu ke
mana-mana.
Tepat pukul 18.00 kami akhirnya sampai di Denpasar. Perjalanan Surabaya-Denpasar yang normalnya 8-10 jam, harus kami tempuh 14 Jam, dengan Naik 2 Bis Ac, 3 Bis Non AC, 1 Angkot, dan 1 Kapal Ferry.
Tepat pukul 18.00 kami akhirnya sampai di Denpasar. Perjalanan Surabaya-Denpasar yang normalnya 8-10 jam, harus kami tempuh 14 Jam, dengan Naik 2 Bis Ac, 3 Bis Non AC, 1 Angkot, dan 1 Kapal Ferry.
Hari
ke dua
Janjiku untuk
mengantarnya ke Gunung Agung harus ditunda dulu, karena banyak pertimbangan
salah satunya waktu yang terbatas dan cuaca yang tidak mendukung, sehingga
tujuan akhirnya berbelok ke Gunung Batur.
Setelah ngopi
bersama mereka, menghabiskan setengah malam bersama orang-orang yang selalu ku
rindukan lawakan dan kebersamaannya, kami bergegas ke Gunung Batur Pukul 02.00
WITA, yang awalnya mau buka tenda jadinya tek-tok
karena kami kesiangan memulai perjalanannya.
Setelah melaju menembus dinginnya malam, kami
baru sadar kalau Bensin sudah mendekati Empty,
hahaha (padahal pada saat mengambil
motor itu Bensinnya full dan kami belum ke mana-mana), seketika perjalanan
mencekam, mengingat jalan menuju ke
Gunung Batur itu sepi, tanjakan dan sudah menjelang subuh. Akhirnya kami bersepakat putar
balik, dengan pertimbangan jalan kembali itu menurun jadi bisa menghemat bensin,
setelah berjalan sangat pelan, kami menemukan pasar yang baru buka, aktifitas
di sana juga ramai jadi kami memutuskan untuk singgah di Pasar itu sambari
menunggu pagi.
Akhirnya setelah
menunggu sekitar 1,5 jam di sebuah pasar
yang entah namanya apa, menjelang subuh dengan 2 gelas kopi hangat, beberapa
kali terlibat obrolan dengan beberapa pedagang yang hanya mengerti sedikit Bahasa
Indonesia, saya akhirnya berusaha bertanya lagi kepada tukang bersih-bersih
pasar, memohon bantuan untuk diberi petunjuk penjual bensin terdekat, dan
seperti biasa selalu ada orang baik yang siap menolong, dia mengantar kami ke
Toko yang menjual bensin, karena itu kenalannya jadi dia berani megedor-gedor
pintu toko itu sampai sang pemilik terbangun dan memberi kami bensin.
Namun
saat motor sudah terisi bensin kami
memutuskan untuk pulang saja, tidak jadi melanjutkan perjalanan ke Gunung Batur
karena saat itu sudah pagi, dan kondisi badan kami yang belum mendapatkan
istirahat sama sekali, sehingga kami menggesernya ke hari berikutnya.
Hari
Ke tiga,
Sekali lagi yang
rencannya kami berangkat lebih awal sekitar jam 7 malam agar bisa camping dulu, mundur sampai jam 12
malam. Dan baru kami memulai perjalanan,
kami sudah diguyur hujan (sungguh cobaan yang tak berkesudahan ya?), bahkan
setelah kami menerobos hujan dan kabut sekitar 2 jam, kami akhirnya menyerah
karena jarak padang sudah sangat dekat.
Kami memutuskan untuk berhenti dulu
menunggu kabut tebal berlalu di depan Kios yang masih tertutup. Dengan
bermodalkan 1 slepping bag yang
dibuka dan dipakai berdua, kami bertahan menembus dinginnya subuh menuju pagi.
Dan karena saking ngantuknya aku beberapa kali sempat tertidur dengan berbagai
posisi, untunglah dia dengan sabar tetap terjaga sambill menungguiku tertidur. (dasar jacklyn tukang tidur emang, maaf ye)
Setelah waktu
sudah menunjukkan pukul 05.00 WITA, kami melanjutkan
perjalanan dengan kecepatan di bawa rata-rata, kemudian memutuskan untuk mencari warung yang sudah
buka untuk menyeduh segelas kopi untuk menyambung hidup hari itu, sambari menunggu terang
datang menjemput kami ditemani 2 gelas kopi yang tawar bersama dengan orang-orang yang juga mampir untuk ngopi di pagi itu dan bagaimanapun kondisi cuaca saat itu kami harus tetap
naik karena itu kesempatan terakhir, dan masih berharap di pagi hari di atas sana badai sudah berlalu.
Kami memulai
pendakian tepat pukul 06.30 WITA, selama perjalanan naik angin kencang datang
menghalau, kabut masih menutupi jalur, dan orang-orang yang sangat banyak
sedang dalam perjalanan turun dengan tampang kecewa karena puncak tidak
terbuka. Kami pendaki terakhir hari itu yang cukup nekad untuk tetap naik. Sesampai di
Puncak Batur pun pemandangan masih tertutup kabut, bahkan dia mencoba menyalakan
kompor untuk menyeduh Pop Mie-pun tidak bisa saking angin kencang datang
berhembus.
Aku tau dia kecewa seberat-beratnya, sudah gagal ke Agung, belok ke
Batur malah kena Badai, yah Alam tidak bisa tertebak, untunglah sewaktu
perjalanan turun pemandangannya sudah terbuka, matahari juga sudah menyengat
kulit, setidaknya kamu masih bisa merasakan suasana “naik gunung” walaupun trackingnya cuman 2 jam sudah dengan
perjalanan turun, tapi tetap kerasakan? hahhaa lain kali jangan minta diajak
naik gunung lagi yah, kita nongkrong di café-café lucu aja, jadi anak gunungnya
lain kali aja.
Bisa dibilang
perjalanan kami failed banget, tapi
saking terlalu failed nya justru aku
sering mengingatnya sambil senyum-senyum, mungkin kita sengaja diuji untuk tau
batas diri masing-masing, bukankah untuk tau seperti apa patner perjalananmu kamu harus mengalami satu moment yang tidak
terbanyangkan, dan mungkin jika perjalanan pertama kita mudah dan berjalan sesuai
dengan rencana maka akhirnya akan berbeda.
---
Terima kasih
untuk bahu, paha dan belakangmu yang selalu ku jadikan tempat bersandar ketika ngantuk menjadi musuh setia perjalananku, untuk langkah-langkah yang terburu-buru
mengejar Bis demi menyambung perjalanan, untuk obrolan di Pasar menuju pagi,
untuk kopi yang tawar di Warung yang berdebu, untuk Puncak yang tidak terlalu
tinggi dengan pemandangan tertutup Kabut dan untuk 3 hari yang tak akan pernah
terlupakan.
Lalu setelah ini kita ke mana? |
dia nunjuk gunung agung, katanya tetap minta diajak ke sana :" |
Dan sekali lagi
perjalanan mempertemukanku dengan
seseorang yang membuatku ingin melakukan perjalanan sejauh apapun asal itu
bersama dia.
0 comments:
Post a Comment