Para Penyembah dan Penyembuh Kecepatan

BEBERAPA tahun lalu, saya menonton seorang reporter dengan bangga pergi ke tempat jauh hanya untuk meliput diri dan medianya sendiri. Dia melaporkan kepada pemirsa yang sedang waswas bahwa stasiun televisi tempatnya bekerja adalah media pertama yang tiba di lokasi bencana yang terisolasi itu. Di dekat sang reporter, seperti yang anda bisa bayangkan, seorang perempuan sudah disiapkan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana perasaan ibu?

Di saluran televisi lain, beberapa bulan kemudian, seorang pengantar kabar tiba-tiba memenggal satu acara hiburan yang saya saksikan di bagian yang kurang tepat. Dengan wajah seolah tampak sedih, dia muncul bersama berita kematian seorang public figure. Tak berselang lama, tanpa mampu menutupi rasa malu, orang yang sama hadir kembali. Atas nama medianya, dia meminta maaf telah melakukan kekeliruan. Tokoh yang baru dia kabarkan meninggal ternyata masih hidup.
Peristiwa menggelikan semacam itu akan sering tampil di media yang meyakini waktu sebagai arena balapan. Mereka meletakkan akurasi berita jauh di belakang nafsu mengibarkan bendera sebagai yang pertama mengabarkan. Faktanya, mereka sedang berlomba menjadi yang terutama mengaburkan.
Media sering menjadi peserta lomba cepat-tepat. Mereka melihat peristiwa sebagai pertanyaan rebutan. Saya ingat saat ikut lomba semacam itu. Beberapa kali saya memencet bel, merebut pertanyaan, dan berhasil menjawab salah. Nilai tim kami berkurang dan gagal menjadi juara.
Bagi yang jarang menonton televisi, kondisi serupa bisa ditemukan di media sosial di internet. Perhatikan bagaimana terburu-burunya orang di Twitter, misalnya. Tampaknya jempol sebagian orang selalu melek, bahkan ketika otak mereka sedang tidur.
2.
PEKAN lalu, saya ke toko buku dan menemukan ada kian banyak buku laris semisal 30 Hari Menjadi Mesin Uang dan seri menguasai sesuatu dalam 100 menit atau kurang. Di rak khusus anak-anak, ada seri 1 menit dongeng pengantar tidur. Tampaknya, semakin banyak orang yang senang membaca buku yang gampang dan ringan. Mereka malas membaca buku-buku yang membuat mereka berpikir. Sungguh, mereka telah menemukan satu jalan pintas dan mudah untuk menyia-nyiakan dan merusak kesehatan otak mereka! Buku-buku semacam itu, yang ditulis untuk dan oleh orang yang gemar tergesa dan malas berpikir, merupakan bukti semakin banyak manusia yang memilih jadi penyembah kecepatan.
Kita bisa menemukan deretan bukti lain dengan mudah. Restoran cepat saji ada di mana-mana lengkap dengan layanan take away dan delivery. Seseorang bisa meninggalkan pasangannya hanya karena tak kuat menunggu balasan pesan pendek selama dua jam. Di antrean, orang saling serobot, tidak jarang ada yang mati terinjak-injak. Di persimpangan, para pengguna kendaraan tak mampu menyembunyikan ketergesaan, mereka membunyikan klakson sebelum lampu hijau menyala. Tabungan dilengkapi kartu dan orang tak perlu turun dari mobil untuk mengambil uang dari ATM. Manusia membangun rumah, termasuk rumah ibadah, semewah dan senyaman mungkin bukan sebagai tempat pulang melainkan sebagai tempat menunggu, halte.
Manusia berubah jadi mesin multitasking. Mereka yang mampu makan tanpa berbincang dengan (menggunakan) telepon genggam semakin langka. Sebagian lagi, tidak mampu menikmati acara makan karena dikejar urusan lain. Menjadi penyebab seseorang menunggu merupakan kesalahan fatal.
3.
KEMARIN pagi, di tempat tidur, saya bertanya kepada diri sendiri, “Apakah hari ini saya harus bangun atau tidak?” Saban pagi saya menyadari diri sebagai musuh yang susah ditaklukkan. Revolusi kecil selalu terjadi di tempat tidur saya setiap hari—tanpa bantuan jam weker.
Saya tidak menyukai alat penunjuk waktu bernama jam. Waktu kecil, saya beberapa kali mendapat hadiah jam tangan dari tante dan paman saya yang bekerja sebagai penjual jam tangan. Tapi, saya tidak pernah mengenakannya, kecuali di depan mereka. Membeli jam tangan, apalagi yang mahal, seringkali tampak sebagai tindakan aneh di mata saya.
Marcel Proust (1871–1922) tinggal dan menulis novel di tempat tidurnya selama hampir satu dekade karena sakit. Tempat tidur adalah meja kerjanya. Proust dianggap sebagai salah seorang novelis terpenting abad ke-20 karena novel itu, In Search of Lost Time.
Proust menggunakan 17 halaman pertama novelnya yang berisi kurang lebih 1,25 juta kata itu hanya untuk menggambarkan seorang pria yang mencoba kembali tidur. Novel itu seperti film yang disusun dengan adegan-adegan lambat. Berbeda dengan manusia di sekitar kita yang menganggap kelambanan sebagai tindakan buang-buang waktu, Proust melakukan hal tersebut sebagai laku menikmati waktu. Dia menginginkan kita bergerak lambat, agar kita paham bahwa kompleksitas, kematangan, dan keindahan butuh waktu.
Saya nyaris sakit karena membaca In search of Lost Time. Saya membutuhkan waktu lebih tiga bulan untuk menyelesaikannya. Novel tebal dan luar biasa itu menghidupkan kembali seekor kura-kura dalam diri saya, binatang yang dibunuh oleh kehidupan yang serba cepat di sekitar saya. Selama berhari-hari, saya memikirkan banyak hal seusai membaca novel itu. Saya merasa telah menyia-nyiakan banyak waktu dalam hidup saya.
Pada abad ketujuh belas, barangkali juga di tempat tidurnya, seorang filsuf yang lahir 31 Maret 1596 menghabiskan banyak waktu merenung sebelum akhirnya berkata, “Saya berpikir maka saya ada.” Dia adalah Rene Descartes.
Pada 1650, tahun ketika Descartes meninggal, seorang filsuf lain mengatakan bahwa sebagian besar kejahatan lahir dari ketidakmampuan manusia berdiam di satu ruangan. Jika hal itu betul, maka berlama-lama menikmati acara makan atau berbaring di tempat tidur adalah laku kebajikan.
Kalimat filsuf bernama Blaise Pascal (1623-1662) itu mengingatkan saya kepada satu percakapan perihal upacara minum teh a la orang Jepang bersama mantan pacar saya. Meskipun saya termasuk orang yang tak gampang tergesa, saya tetap geregetan melihat orang Jepang yang di pikiran saya senang tergesa rela menghabiskan waktu berlama-lama hanya demi semangkuk kecil teh hijau. Belakangan saya tahu, upacara minum teh itu penuh seni dan pelajaran berharga.
Saya pernah tinggal bersama orang Jepang selama beberapa tahun dan menjadi kekasih dua orang mahasiswi jurusan sastra Jepang dari dua universitas berbeda.
4.
SEORANG mantan speedaholic, sebutan untuk orang yang kecanduan kecepatan, pada 2004 menerbitkan buku berjudul In Praise of Slow. Dia seorang wartawan bernama Carl Honoré yang khawatir tidak mampu keluar dari perangkap kecepatan. Dia merasa telah bersalah karena selalu membaca buku seri 1 menit dongeng pengantar tidur untuk anaknya. Dia selalu merasa tidak punya waktu, selalu merasa dikejar-kejar pekerjaan.
Dia terinspirasi oleh gerakan global Slow Food dan melakukan penelitian mengenai waktu dan manusia yang terjebak di dalamnya. Kini bukunya sudah dialihbahasakan ke dalam lebih 30 bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia.
Bukunya menginspirasi banyak orang membuat gerakan di berbagai belahan dunia. Di beberapa negara di Eropa kini terbentuk komunitas perlambatan waktu, Society for the Deceleration of Time. Juga ada beberapa jaringan advokasi untuk mengklaim kembali waktu para buruh yang tercuri—agar mereka mendapat waktu istirahat lebih banyak. Banyak penelitian mutakhir menujukkan bahwa istirahat yang cukup justru membuat para pekerja menjadi lebih kreatif dan produktif.
Di berbagai tempat, termasuk di sekitar kita, gerakan lambat memang kian dihargai. Kita bisa melihat kian banyak orang bergabung di komunitas perajut atau komunitas pembuat barang-barang kerajinan tangan lainnya. Saya menghormati mereka sebagaimana saya menghormati ibu saya. Sejak gadis, dengan mesin tua warisan dari ibunya, ibu saya sudah menjadi penjahit. Hingga remaja, saya menggunakan pakaian hasil jahitan ibu saya. Dulu, saya sering sedih karena jarang membeli pakaian produksi pabrik. Kini, saya merindukan masa-masa ketika saya bisa mengenakan baju bikinan ibu saya, juga cemburu kepada cucu-cucunya yang lebih beruntung sering menikmatinya.
Isu waktu dan kecepatan juga mulai mendapat perhatian dunia pendidikan Indonesia. Salah satu faktor yang kerap dianggap menyebabkan kemerosotan pendidikan adalah padatnya pelajaran yang harus diikuti para siswa. Mereka dipaksa mengetahui banyak hal dalam tempo singkat. Mereka kehilangan waktu menikmati rasa penasaran dan menemukan ide-ide kreatif. Pendidikan semacam itu bisa diduga hanya melahirkan manusia yang mampu menghafal banyak apa-tanpa-kenapa.
Finlandia yang menempati urutan pertama dalam urusan kinerja dan keberaksaraan justru menerapkan pendekatan di buku Carl Honoré. Dia menawarkan gerakan lambat sebagai penyembuh speedaholic. Filosofi gerakan lambat Honoré tidak berarti melakukan segala hal seperti siput, tapi mengatur irama dan memilih kecepatan yang tepat. Di antara para pelari, seringkali kita harus memilih menjadi pelari yang paling lambat. Sebaliknya, di antara para pejalan, kita boleh memilih menjadi pejalan paling cepat. Jauh lebih penting menikmati waktu ketimbang menghitungnya. Para perajut merupakan contoh manusia yang menghargai waktu menurut Carl Honoré.
Saya, akhir-akhir ini, memang sering diam-diam cemburu kepada beberapa teman saya yang mampu menikmati waktu dengan menjadi perajut. Di tengah manusia yang meyakini waktu adalah uang, saya menemukan mereka justru melihat waktu adalah ruang. Mereka, secara tidak langsung, telah mengajari saya untuk lebih menghargai dan menikmati kesunyian. Kesunyian adalah ruang untuk berpikir, ruang untuk menemukan dan menyelamatkan diri sendiri.
Teman-teman saya itu membuat saya membaca ulang novel Gabriel García Márquez, One Hundred Years of Solitude. Dulu, sebagaimana banyak orang di antara kita, saya menganggap kesunyian adalah kesepian. Sekarang, saya yakin bahwa kesunyian dan kesepian adalah dua hal berbeda. Ketika saya tidak menikmatinya, ia bernama kesepian. Ketika saya menikmatinya, ia bernama kesunyian.
Kecepatan adalah ruang di mana kita cenderung menjadi mangsa bagi keserakahan sendiri. Kecepatan juga bisa membuat orang menjadi pelupa dan tidak peka. Itulah jawaban kenapa banyak penulis dan seniman senang berjalan kaki. Mereka tidak mau kehilangan kepekaan, satu hal yang mutlak mereka harus miliki. Semakin cepat kendaraan yang kita gunakan, semakin sedikit yang mampu kita tangkap, dan karenanya akan semakin sedikit yang mampu kita ungkap dan singkap.
5.
MEMBACA buku Proust dan Honoré mengembalikan saya ke masa kecil. Pada akhir dekade 1980-an, banyak anak seusia saya yang akrab dengan Leo, Mike, Don, dan Raph.
Mereka adalah empat jagoan kreatif penumpas kejahatan yang masing-masing menggunakan topeng berbeda warna. Dua jagoan favorit saya adalah yang mengenakan topeng berwarna jingga dan ungu. Nama mereka diambil dari orang-orang jenius, seniman, dan ilmuwan abad pertengahan; Leonardo da Vinci (1452–1519), Michelangelo atau Michelangelo di Lodovico Buonarroti Simoni (1475–1564), Donatello atau Donato di Niccolò di Betto Bardi (1386 –1466), dan Raphael atau Raffaello Sanzio da Urbino (1483–1520).
Mereka adalah Kura-Kura Ninja. Satu-satunya perihal yang membuat saya selalu bertanya perihal empat jagoan tersebut adalah alat penunjuk waktu di pergelangan tangan mereka. Jam tangan para mutan itu, bagi saya, seringkali tampak sebagai alat yang mereka gunakan menyindir manusia.
Kura-kura merupakan binatang yang lambat tapi produktif. Binatang yang pernah mengalahkan kelinci angkuh dalam lomba lari itu dikenal di berbagai kebudayaan sebagai lambang kebijakan dan kebajikan. Mereka sudah ada di bumi ini sejak 200 juta tahun lalu. Mereka bisa hidup hingga 150 tahun, lebih dua kali lipat dibanding angka harapan hidup rata-rata orang Indonesia.
Di tengah para penyembah kecepatan yang gemar melontarkan pernyataan tanpa pertanyaan dan rentan diserang amnesia, kita bukan hanya penting menjaga kura-kura dari kepunahan tapi juga harus belajar dari mereka agar kita tidak punah ditelan keserakahan sendiri.
Pelajaran sederhana pertama dari kura-kura adalah tidak terburu-buru mengiyakan atau menidakkan tulisan ini. Berhentilah sejenak dan berpikirlah—kalau perlu, seduhlah segelas kopi atau teh, kemudian bacalah tulisan ini sekali lagi!

Makassar, Maret 2013
(tulisan ini  dikutip dari www.hurufkecil.net yang ditulis oleh M.Aan Mansur salah satu penulis Favorit saya  berasal dari kota Makassar, Sulawesi Selatan)

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment