..............................
Ada
dua cangkir menemani sore kita. Cangkirku berisi kopi hitam yang tidak terlalu
manis, dan cangkir yang satunya berisi air putih yang sudah hampir habis kau
minum. Sore itu kita ditemani hujan
gerimis yang dari siang tak kunjung reda. Aku seperti biasa mendengar keluh
kesahmu tentang studymu yang begitu rumit, hanya sesekali aku tanggapi itupun
jika ada yang aku mengerti. Karena aku tak pernah mengerti jadilah aku hanya
bisa memberikan telinga untuk mendengar semuanya. Setelah itu kita menertawai
hal-hal kecil yang sering kita perdebatkan, kita begitu larut dalam tawa sore
itu, sejenak melupakan aktivitas kita yang begitu padat. seperti kita yang selalu setia berbagi suka
dan duka dalam keadaan apapun, seperti pula hujan gerimis diluar sana, sedikit
tapi setiap hari.
10
tahun kemudian.
Ada
dua cangkir menemani malam kita. Cangkirmu masih saja berisi air putih yang
kali ini belum kau minum sama sekali. Cangkir satunya, berisi teh yang masih
hangat. Aku berhenti meminum kopi beberapa tahun lalu setelah sakit hebat menimpaku.
Kaupun sering memerahiku karena aku tak pernah mendengarmu untuk berhenti
meminum si hitam itu. kita masih duduk di tempat sama, beranda rumah dengan satu kursi merah
yang tak pernah berpindah. Kamu sudah memakai kacamata, yah kamu makin tampan
semenjak memutuskan memakai benda itu. Yang masih sama, aku masih mendengar
keluh kesahmu, kali ini tentang pekerjaanmu untuk melayani banyak orang itu. di
tambah keinginanmu untuk melanjutkan studymu ke tempat yang begitu jauh. Kali ini,
aku menanggapimu begitu banyak karena aku sudah sedikit mengerti tentang
keluhanmu itu. ku lihat didepan kita, gelap menyelimuti, keheningan menemani,
sambari aku memegang erat tangan yang dihiasi cincin dijari manis yang mirip
dengan cincin kupakai, sebuah bentuk sederhana untuk meyakinkan semua keputusanmu.
10
tahun kemudian.
Ada
empat cangkir menemani pagi kita. Cangkirmu berisi teh hangat manis, sedangkan
aku secangkir teh hangat yang tidak manis, yah sudah berapa tahun aku
mengurangi mengkonsumsi manis, dua cangkir yang lain berisi susu putih hangat.
Aku menyiapkan sarapan untukmu, dan dua orang lagi. Di meja makan pagi itu,
kita masih saja membicarakan tentang study,
tapi kali ini bukan studyku ataupun studymu, yah study mereka yang selalu
menjadi alasan kita untuk cepat pulang ke rumah. kamu bersikeras menginginkan
mereka mengikuti jejakmu sedangkan aku membebaskan mereka mau menjadi seperti
apa. Setelah perdebatan kecil terjadi, akhirnya kamu bersepakat membebaskan
mereka memilih menurut apa yang mereka inginkan. Aku tersenyum kecil ke arahmu,
dan berjalan memakaikan jas kebanggaanmu itu. kamu berangkat ke tempat yang
semua orang membutuhkanmu, aku di rumah menunggu kalian kembali membawa keluh
kesah yang selalu siap aku dengarkan sambari menyelesaikan pekerjaan yang sudah
menunggu untuk kuselesaikan. Sejenak pandanganku terhenti pada sebuah benda
yang tergantung di sisi sudut dalam ruangan itu, sebuah foto yang selalu
menjadi sumber semangatku.
10
tahun kemudian.
Ada
dua cangkir menemani senja kita. cangkirmu masih saja berisi air putih,
sedangkan cangkirku berisi susu putih hangat. Kamu menyuruhku rutin meminum
susu karena baik untuk kesehatanku. Kita menikmati senja diumur kita yang sudah
renta di beranda rumah dengan satu kursi merah yang tak pernah berpindah. Namun,
ada yang berubah, kita tak seberisik dahulu. Kamu yang sekarang hanya duduk
membaca buku-bukumu, sedangkan aku asik dengan rajutan baju yang tak kunjung
usai aku kerjakan. Sesekali aku melihatmu membenarkan kacamata dan posisi
dudukmu. Aku tak pernah bosan melihat wajah itu, walaupun telah
bertahun-tahun menghiasi hariku.
Kemudian, Ku dengar sayup-sayup suara
mobil memasuki halaman rumah. Ada tiga orang kecil turun dari mobil pertama,
dan dua orang lagi di mobil yang terakhir, kemudian mereka berlari kencang ke
arahmu. Memelukmu, mencium tanganmu dan menjatuhkan buku-bukumu ke lantai, aku
hanya tertawa melihat kelakuan mereka. Seperti biasa, di hari libur rumah yang
hanya penghuninya kita berdua seketika menjadi ramai dengan tawa, teriakan, dan
coleteh dari mereka. Senjapun berganti dengan malam yang begitu hitam,
dedauananpun ikut menjatuhkan dirinya ke halaman rumah, dan kita masih saja
duduk di beranda itu, melihat mereka
dengan senyum simpul diwajah keriput ini. Ku rasakan sebuah gengaman menggenggam
tanganku walaupun tak seerat beberapa puluh tahun lalu dan tangan itu tak
sehalus dahulu, aku tetap merasakan keajaiban
genggaman penuh kasih sayang dengan cincin yang masih setia melingkar di jari
manis itu.
0 comments:
Post a Comment