Hari ini saya bangun dengan mata yang sangat sembab, karena habis menangis semalaman. Lalu keluar kamar kost untuk mengambil orderan Go-Food untuk makan siang karena saya masih WFH. Lalu penjaga kos bertanya “loh mba kok matanya bengkak?” wah pasti lagi galau nih makanya nangis semalaman.
Kemudian saya tertawa dan dengan santai menjawabnya “yah mas saya abis nangis karena nonton film semalam”
Lalu
Dia tertawa setengah tidak percaya bahwa mata Saya bengkak dan sembab karena
habis menonton film, dan dengan sedikit mengejek dia berkata “ya ampun mba, padahal
udah gede kok cengeng amat bisa nangis sampai segitunya karena hanya nonton
film “
Saya
mengiritkan kening, kemudian bertanya dalam hati, kenapa dia lebih tertarik
mengapa saya menjadi cengeng padahal sudah gede begini? Kenapa dia tidak
tertarik film apa yang saya nonton sehingga saya bisa menangis sampai mata saya
sembab seperti ini? Mengapa dia lebih tertarik dengan sebab dari pada
akibatnya?
Tanpa
menjawab pertanyaannya Saya berlalu begitu saja. Sesaat berfikir bahwa Apakah
umur 25 tahunan ke atas itu yang
ditagiskan hanya persoalan kegalauan cinta saja? Saya bahkan bisa menangis
terseduh-seduh hanya dengan membaca cerita sedih yang jelas tau itu hanya fiktif belaka.
Film yang membuat mata sembab ini bukan film romance dengan plot karakter utamanya tidak bersama di-ending film sehingga mengurus air mata, atau salah satu dari pemerannya harus meninggal karena suatu penyakit mematikan atau kecelakaan lalu lintas, bukan karena itu.
Film
yang saya nonton malam itu adalah film tentang kemanusian, film tentang bagaimana menjadi orang tua, film dari sudut pandang seorang anak kecil yang tidak
berdosa, dan film yang menyadarkan bahwa dunia yang saya syukuri ini ternyata
tidak semua orang bisa menikmatinya.
Dan saya berjanji itu adalah terakhir kalinya saya menonton film itu, bukan karena fimnya tidak bagus, tapi karena saya tidak mau lagi bangun-bangun ditanya kenapa mata saya bengkak karena film yang mengusuik pikiran dan hati ; bahwa benar “tidak semua orang siap menjadi orang tua”.
Sinopsis Singkat :
Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun yang dibesarkan dalam jurang kemiskinan, harus berjuang menghadapi kerasnya hidup bersama saudara-suadaranya, Ia lantas dipenjara karena menikam seseorang yang menikahi paksa adik perempuannya, yang harus meregang nyawa karena komplikasi mengandung anak diusia terlau dini yaitu 10 tahun. Zain adalah korban dari ketidampuan orang tua membesarkan seorang anak.
Sedikit
Review dari Capharnaüm 2018.
epilog : Saya berjanji tidak akan menontonnya lagi, itu membuat saya trauma karena saya adalah seorang perempuan yang bertujuan menjadi Ibu, dan tentunya saya juga seorang anak. Hampir setiap adegan membuat air mata saya mengalir deras. Rasa-rasanya kemarahan saya memuncak, saya marah kenapa Zain harus menanggung kehidupan yang bahkan orang dewasa saja tidak akan sanggup ketika menghadapinya.
***
Film ini dibuka dengan suasana ruang sidang dan memperlihatkan ke dua tangan Zain diborgol, namun kali ini Zain bukan menjadi tersangka melaikan Ia menjadi penuntut. Dia menuntun kedua orang tauanya.
Sang hakim bertanya "Mengapa Kau menuntut kedua orang tuamu?"
Zain menjawab dengan tatapan penuh kebencian "Karena Mereka melahirkanku ke dunia"
Adegan ini adalah adegan ikonik yang sungguh kuat dan dalam untuk kita sebagai penonton.
Capharnaüm adalah film yang rilis tahun 2018 dari Negeri yang selalu bergejok akibat peperangan ; “Lebanon”. Ini kali kedua Saya menonton film dari Timur Tengah dan selalu meninggalkan kesan mendalam, yang pertama tentu saja adalah Children Of Heave (1995), yang kedua adalah Film ini yang disutradarai Nadine Labaki. Karyanya ini bahkan masuk nominasi Oscar pada kategori Best Foreign Film 2018 serta memenangkan Cannes Film Festival dan banyak penghargaan Internasional lainnya. Walaupun pemenang kategori Oscar Best Foreign Film 2018 disambat oleh Film Roma, tetapi Capharnaum tetap memberikan kesan tersendiri bagi Saya, dan tentunya penggemar film Timur Tengah diluaran sana. Oh rasanya bukan hanya Saya, tapi semua orang yang sudah ikut menangis ketika menonton film ini.
Bahkan New York Times menyebut film ini dengan "Capernaum is Not Just a Film, but a Rallying Cry", karena terlalu kuat dan dalam maknanya.
Saya bahkan tidak sanggup jika harus menceritakan secara detail
bagaimana film ini mengoyak Nurani, katakanlah saya memang cengeng tapi 2 adegan ini jika kalian menontonnya pasti akan ikut terisak
:
Adegan yang pertama ketika Zain kembali ke rumah dan mengetahui nasib tragis adik perempuannya, adegan ini membuat saya merinding bahkan membuat impact begitu kuat kepada saya sebagai penontonnya,
Lalu adegan ke dua ketika Zain seorang anak
kecil berusia 12 tahun yang tidak tahu apa-apa tentang hukum, tidak mengerti
tuntutan dan segala cakupannya, dengan berani membuat statement yang
membuat Saya merinding, dan meninggalkan kesan depresif :
"Aku ingin
orang dewasa mendengarkan. Aku muak dengan para orang tua yang tak dapat
membesarkan anaknya.
Apa yang saya
dapatkan dari pengasuhan mereka? Makian, pukulan dan tendangan.
Sabetan dengan
rantai, pipa dan sabuk.
Kata yang paling
baik yang kudengar dari mereka adalah 'pergi kamu gobl*k!'
Hidup ini seperti
kotoran anjing. Bahkan lebih kotor daripada kotoran yang menempel di sepatu.
Aku hidup seperti di
neraka. Dibakar seperti ayam yang sekarat agar bisa dimakan.
Hidup sangatlah
menyebalkan.
Aku berharap menjadi
orang yang baik, dihormati dan dicintai. Tapi tuhan tidak menakdirkan hal itu.
Ia menjadikanku keset lantai untuk diinjak-injak."
-------
Pikiran saya benar-benar
terusik bahwa apakah kelak saya sudah siap menjadi orang tua?
Apakah saya
pantas mendidik anak saya menjadi seseorang yang berguna bagi diri sendiri dan
orang lain?
Atau apakah saya
bisa menjadi panutan untuk anak saya dikemudian hari?
Seketika Saya berjanji pada diri saya jika benar menjadi orang tua adalah suatu pekerjaan seumur hidup yang sudah akan otomatis melekat didirimu saat anakmu lahir, maka izinkan saya akan terus belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik buat anak saya, kelak.
Tentu belajar dari Buku, Film maupun sekitar. Karena yang saya tau, banyak sekali orang tua di luar sana yang tidak pernah mau belajar, mereka pikir jika label "orang tua" yang otomatis melekat pada diri mereka lantas membuat mereka tau semua tentang anaknya.
Karena hidup adalah tentang belajar, bahkan seorang anak berusia 12 tahun mengajarkan saya bagaimana seharusnya menjadi orang tua yang "pantas" untuk anaknya.
Bukan hanya anak yang bisa menjadi durhaka, Orang Tua di luar sana banyak juga yang menjadi durhaka kepada anaknya.
Ini adalah foto
Zain yang pertama kali tersenyum seumur hidupnya, |
Terima Kasih Zain untuk pembelajarannya.
jf.
0 comments:
Post a Comment