Cikasur-Cisentor 4,5 Jam
Jalur ke Cisentor di sambut
dengan tanjakan yang cukup terjal dan melelahkan, namun bukan lagi savanna
cokelat yang akan kita lihat melainkan savana hitam. Sungguh, bumi membakar
dirinya sendiri melalui mataharinya, tapi ajaibnya walaupun habis terbakar,
jalur ke cisentor masih sangat jelas, dan yang tidak terbakar hanya lintasan
jalur itu saja, semuanya benar-benar habis terbakar. Setelah melewati beberapa
savana hitam, kita akan melipir ke tebing yang seperti habis longsor, melewati
batang-batang pohon yang tumbang karena kebakaran, patahan ranting-ranting
pohon, dan beberapa titik api yang masih cukup panas. Kemudian setelah itu kita
akan turun lagi ke bawah lembah yang cukup curam, perlahan suara gemercik air terdengar dan
sebuah bangunan semacam shalter
terlihat, akhirnya kami tiba di post ngecamp cisentor. Oh iya, sebelum kami
berangkat, kabar bahwa argopuro terbakar memang dikonfirmasi bapak Sus bahwa
itu betul, tapi kebakaran itu hanya di Cisentor bukan di jalur dan itu sudah beberapa hari yang
lalu, semuanya benar kami memang sudah membuktikannya.
hanya lintasan jalur saja yang tidak terbakar |
menyelusuri hutan yang terbakar |
titik api |
Akhirnya setelah berjalan
seharian kami tiba di cisentor pukul 5 sore, sudah hampir gelap saat kami mendirikan
tenda di sana. Malam di cisentor lebih tenang dari malam di post mata air 2,
tak ada hewan yang mengganggu padahal dugaan kami banyak hewan yang akan
berlalu lalang karena dekat dengan sumber air tetapi nanyatanya malam kami
ditutup dengan tidur yang sangat pulas.
tempat ngecamp di cisentor |
bersih-bersih peralatan dulu coy |
sungai di cisentor |
Cisentor-Rawa Embik, 1,5 jam
Kami berangkat pagi sekali, dari
rencana awal jam 6 kemudian bergeser ke jam 7, di cisentor kami berpisah dengan
abang-abang dari Bekasi itu, karena kami yang memulai perjalanan sangat pagi
untuk bisa tiba di puncak sebelum jam 12. Jalur ke Rawa Embik cukup nanjak
bahkan di sini kami hampir tersesat karena kurangnya petunjuk, tapi syukurlah
setelah 1,5 jam kami sampai di Rawa Embik, mata air terakhir tertinggi di Gunung
Argopuro.
istrahat dulu sebelum nanjak lagi |
Rawa Empik-Savana Lonceng 1 jam
Perjalanan ke Savana lonceng
cukup melelahkan karena naik turun bukit sungguh terasa, di perjalanan ini juga
kita akan bertemu dengan lahan Edelweis yang cukup luas, dan sempat beberapa
kali terkecoh karena menebak-menebak mana puncak Argopuro, ya dijalur ini
banyak sekali puncak gunung yang terlihat. Setelah menelusuri hutan, Savana
lonceng pun terlihat dan puncak argopuro berdiri dengan gagahnya.
perjalanan ke savana lonceng |
Savana Lonceng-Puncak Argopuro 20
Menit, Puncak Rengganis 15 Menit
Savana lonceng itu berada di
antara Gunung Argopuro dan Gunung Welirang yang puncaknya di sebut puncak
Rengganis. Setelah menaruh carrier
kami dengan terburu-buru memulai pendakian ke puncak argopuro terlebih dahulu perjalanan cukup cepat karena beban di punggung
sudah terlepas. Setelah 20 menit berselang, akhirnya kami sampai di pucak.
Puncak Argopuro itu biasa saja, tak ada pemandangan seindah Rinjani dan Semeru,
tingginya pun hanya 3088 mpdl tak sebanding dengan jauh perjalanannya. Di
Puncak terdapat beberapa puing-puing bebatuan seperti sisa bangunan, yah
seperti cerita yang beredar, di puncak argopuro juga terdapat kerajaan. Sebelah
kiri puncak, sekitar 15 menit kita akan sampai di puncak Arca. Sayangnya, kami
tak sempat ke sana berhubung karena waktu yang begitu terbatas.
puncak argopuro 3088 mdpl |
Tak lama di puncak, kamipun
segera turun karena waktu sudah menunjukan pukul 12. Turunnya tak kurang dari 10
menit. Kemudian ricard dan bang oci bergegas ke puncak Rengganis. Saya dan Ando
tidak melanjutkan perjalanan karena kaki saya yang sudah sangat sakit sehingga
lebih memilih mensavenya untuk
perjalanan pulang saja. setelah menunggu 20 menit, bang oci dan ricard pun
kembali, entah mereka lari atau jalan, yang jelas mereka cepat sekali, haha mie
saya saja belum habis mereka sudah muncul kembali.
jalur ke istana rengganis |
bekas kolam rengganis |
sebuah makam, entah ini makam dewi rengganis atau dayang-dayangnya |
Dan ternyata pertemuan di
Cisentor adalah pertemuan terakhir dengan bang joleng, bang godel dan bang
godi., karena pasca kami turun dari puncak kehadiran merekapun belum terlihat,
sehingga kami mulai berasumsi bahwa mereka tak ke puncak tapi dari cisentor
langsung ke danau taman hidup, karena mengingat mereka berkata “buru-buru
banget sih,ngapain juga ke puncak toh puncaknya gitu-gitu aja”.
Savana Lonceng-Danau Taman Hidup
4,5 jam
Sebenarnya dari savanna
lonceng-Taman hidup dibutuhkan waktu sampai 9 jam jika kita turun kembali ke Cisentor.
Tetapi kami mengambil jalan potong kompas yang hanya memakan waktu sekitar 5
jam saja. Dengan informasi yang kami dapatkan dari bang joker BASARNAS Jember
yang kami temui di basecamp, jalur
pintas itu belum banyak dilalui pendaki karena biasanya pendaki lebih memilih
untuk turun kembali ke cisentor. Tetapi karena kondisi jalur yang belum cukup
jelas jadi alangkah baiknya jika pendakian di siang hari, inilah yang
menyebabkan perjalanan hari ke tiga kami benar-benar ngebut karena takut
terkena malam di jalur pintas itu. Tetap pukul 1 siang kami meninggalkan
savanna lonceng menuju danau taman hidup. Di savana lonceng terdapat
perempatan jalan, jalan pintas itu mengambil jalan ke kiri membelah gunung Welirang
dan gunung Argopuro. Clue yang kami
dapatkan hanya “trus ambil jalan ke kanan jika menemui pertigaan atau
peempatan. Awalnya kita akan di sambut dengan tanjakan seperti jalur menuju
puncak Argopuro, jalannya sangat sempit, ranting pohon cukup banyak yang
menghalangi, untunglah banyak straight
light atau petunjuk jalan berupa tali yang di ikat pohon yang sangat
membantu kami. Bagi pendaki-pendaki yang telah memasang straight line di sepanjang jalur Argopuro maha besarlah jasa
kalian.
melipir duluuu |
Setelah menanjak, kita akan
benar-benar turun dari kemiringan 70 derajat. Di tengah kami yang sedang
beristirahat merebahkan lelah, hujan datang tanpa permisi, seketika kami
bergegas untuk melanjutkan perjalanan setengah berlari. Kurang lebih 2 jam
akhirnya kami sampai di sungai yang setengah kering, entah apa nama sungai yang
kami temui itu, hujan kemudian reda setelah kami melewati semacam ladang
jagung, kemudian menurun lagi ke post bernama cemara lima. Disini kami sempat
bingung karena masih menduga-duga arah danau taman hidup itu di selatan atau
utara, akhirnya kami memutuskan untuk mengambil jalur ke kanan setelah cemara
lima, di jalur ini yang ditemui hanya jalan sempit yang di sebelah kanan adalah
jurang yang menganga, semacam berjalanan melipir di tebing gunung yang entah
apa namanya. Di sini pula saya hampir jatuh ke dalam jurang, karena sewaktu
melompat ke sebuah batu hentakan pijakan saya meleset, untunglah masih ada kaki
kiri saya menahan setengah badan dan sempat memegang di ranting pohon. Setelah berjalan kurang lebih 1,5 jam akhirnya
kami masuk ke Hutan Lumut, hutan yang benar-benar rapat, bahkan cahaya matahari
seolah enggan untuk masuk ke dalam hutan ini. Gelap, lembab, dan seperti
memasuki rumah satwa- satwa yang ada di Argopuro bahkan di sini bang oci sempat
melihat macan hitam melintas. Sepanjang perjalanan melintasi hutan lumut tak
ada obrololan berarti yang tercipta hanya ada suara satwa-satwa liar dan
langkah kaki yang beradu bahkan kesepakatan kami akan beristirahat setelah
sejam berjalan pun sudah tak ada, kaki saya saat itu sudah benar-benar sakit,
bahkan saya sempat meringis dalam hati menahan sakitnya, Ando yang di belakang
sayapun sejenak memberi nasehat bahwa kita berhenti saja kalau memang saya
sudah tak kuat, tapi saya masih kekeh untuk tetap berjalan karena kondisi hutan
yang sudah tidak kondusif di tambah hari sudah mulai gelap. Namun akhirnya,
kaki saya benar-benar tak tertahankan kemudian saya berhenti, sebenarnya udah
mau nangis tapi masih gengsi hahaha syukurlah bang oci juga minta break untuk menunaikan ibadah sholat
mangrib, saking tak ada jalur yang terbuka bang oci sholat di jalur, dan
beberapa meter di belakangnya sayapun pipis di jalur karena takut masuk hutan dan
udah kebelet banget :”
memasuki hutan lumut |
Kami beristirahat sekitar 10
menit kemudian bergegas kembali, setelah jalan sekitar 15 menit, rasanya kami
sudah sampai di ujung hutan itu, tak ada pohon lagi yang menghalangi, tetapi
kami masih tak tahu yang di depan itu apa karena benar-benar tertutup kabut.
Ahirnya tepat pukul 5.30 sore kami sampai di danau taman hidup di sambut dengan
kabut yang perlahan memenuhi danau dan suasan danau yang sangat sepi. Setelah
berunding, kami akhirnya memutuskan untuk mendirikan tenda bukan di kawasan
danau, karena banyak pertimbangan. Kami mendirikannya di semacam pintu masuk
danau. Setelah itu yang lainnya mendirikan tenda dan saya terduduk lemas di
batang pohon karena sudah sangat lelah menahan sakit di kaki.
Awalnya kami memutuskan untuk tidak mengambil air, memakai air sisa 2 botol yang ada saja, karena hari sudah gelap, jarak ke danau juga cukup jauh, tapi karena kami benar-benar kotor (habis kena hujan dan lumpur) jadi Ando dan Ricard tetap ingin ke danau mengambil air di ikuti dengan bang oci yang sekalian ingin wudhu pakai air saking kotornya disusul saya yang tidak berani di tenda sendirian. Akhirnya kami berempat berjalan menuju danau, mahan dingin yang menusuk, menerobos kabut malam, demi mendapatkan air. Malam itu ditutup dengan makan bunuh (istilah ando) alias makan besar sebagai penghabisan dari hasil irit-irit kami beberapa hari di gunung dan kebingungan karena ingin menyalakan bara api agar tenda kami tidak diganggu hewan-hewan liar tapi nyatanya nihil karena semua kayu basah terkena hujan sore tadi dan persedian garam kami habis karena Ando memakai semuanya untuk menaburi tenda di cisentor saat itu. Kami semua hanya bisa pasrah semoga semuanya baik-baik saja.
Awalnya kami memutuskan untuk tidak mengambil air, memakai air sisa 2 botol yang ada saja, karena hari sudah gelap, jarak ke danau juga cukup jauh, tapi karena kami benar-benar kotor (habis kena hujan dan lumpur) jadi Ando dan Ricard tetap ingin ke danau mengambil air di ikuti dengan bang oci yang sekalian ingin wudhu pakai air saking kotornya disusul saya yang tidak berani di tenda sendirian. Akhirnya kami berempat berjalan menuju danau, mahan dingin yang menusuk, menerobos kabut malam, demi mendapatkan air. Malam itu ditutup dengan makan bunuh (istilah ando) alias makan besar sebagai penghabisan dari hasil irit-irit kami beberapa hari di gunung dan kebingungan karena ingin menyalakan bara api agar tenda kami tidak diganggu hewan-hewan liar tapi nyatanya nihil karena semua kayu basah terkena hujan sore tadi dan persedian garam kami habis karena Ando memakai semuanya untuk menaburi tenda di cisentor saat itu. Kami semua hanya bisa pasrah semoga semuanya baik-baik saja.
danau taman hidup |
memang benar, danau taman hidup begitu magis, seolah dibalik danau ini ada sesuatu yang begitu istimewa |
Danau Taman Hidup-Desa Bremi 3
jam
Perjalanan ke Desa Bremi itu
hampir sama dengan perjalanan ke gunung Agung, menuruni hutan yang terjal selama
3 jam, untuk jalur naik rasanya Bremi memang lebih gila dari jalur Baderan
karena di Bremi, bunos itu sangat sedikit selebihnya tanjakan nyeri di kaki dan
memilukan ketika di lihat. Karena itu Bremi
memang sangat cocok di pakai untuk jalur turun tapi lebih cepat jika digunakan
sebagai jalur naik walaupun tanjakan untuk tujuan Puncak Argopuro, jika kuat 2
hari perjalanan kita sudah bisa sampai di Savana Lonceng. dan sini pula, rekor menangis di gunung pecaaahhh karena kaki saya keseleo, beh sakitnya gak usah ditanya, tapi karena langsung ditindaki Ando alias di urut jadi sedikit membaik dan lebih syukurnya lagi masih bisa dipakai jalan.
selfie di saat2 badan udah capek banget yah gini, buraaam :" |
Setelah melewati hutan, kita akan
bertemu dengan hutan pinus, disini kadang kali kita dibuat terkecoh karena
banyaknya jalan yang bercabang. Setelah itu kita akan memasuki perkebunan Anyer,
disini pemukiman warga sudah terlihat, namun sebelum kami sampai di
perkebunan yang dari mata memandang masih sangat jauh, kami bertemu dengan ojek
yang kebetulan ingin ke ladang, setelah kami berunding kami di beri harga Rp.
25.000 sampai di bremi. Akhirnya kami sepakat karena menurut bapak ojeknya bis ke
Kota Probolinggo itu terakhir jam setengah 4 sore, sedangkan waktu sudah
menunjukan jam 2.30, estimasi waktu jika berjalan kaki kurang lebih 2 jam. Kami
akhirnya langsung diturunkan di bis Probolinggo itu parkir, setelah sempat
makan bakso dan membersikan diri (tapi belum sempat mandi), kami meninggalkan
desa Bremi tepat pukul 3.30 diiringi dengan geremis yang perlahan membasi
jalan, sejenak pandangan saya beralih ke sebelah kanan jalan masih terlihat
begitu megahnya pengunungan Yang berjejer seolah memberi pertanda bahwa alam
yang mereka milih benar-benar indah dan hanya mereka yang benar-benar tabah
sampai akhirlah yang bisa menaklukannya.
Gunung Argopuro, 28-31 Oktober 2015
------------------------------------
How to get there :
-berangkat dari Bali mengggunakan
Bis Indonesia Abadi (non AC) jurusan Probolinggo, sedangkan berangkat dari
Bandung/Jakarta menggunakan kereta Jurusan Probolinggo, kemudian sambung lagi
naik Angkot jurusan Desa Besuki
-setelah sampai di Probolinggo,
jika rombongan banyak maka alternatifnya menggunaan mobil sewah saja, namun
jika sedikit menggunakan Ojek, atau mobil hasil angkut sapi jurusan Desa
Baderan.
Trip Cost :
-Tiket Bis Bali-probolinggo
Rp.90.000/orang
-Mobil/Ojek ke Desa Baderan Rp.
35.000/orang
-Bayar Simaksi pendakian
Rp.20.000/hari/orang + Rp.20.000/team
-Jika mau, Naik Ojek dari Basecamp-Pintu Rimba Rp.25.000-Rp.50.000 (tergantung nego)
Trip tricks :
-bawalah lebih banyak cadangan logistik karena perjalanan ke Argopuro itu sangat jauh bahkan bisa sampai 5 harian.
-siapkan mental dan fisik, karena jalur ke Argopuro itu lebih banyak naik-turunnya jadi lebih membuat mental cenderung drop
-menjaga perkataan dan perilaku karena gunung argopuro masih tergolong magis.
Trip tricks :
-bawalah lebih banyak cadangan logistik karena perjalanan ke Argopuro itu sangat jauh bahkan bisa sampai 5 harian.
-siapkan mental dan fisik, karena jalur ke Argopuro itu lebih banyak naik-turunnya jadi lebih membuat mental cenderung drop
-menjaga perkataan dan perilaku karena gunung argopuro masih tergolong magis.
0 comments:
Post a Comment