Mungkin bagi
sebagian orang, perjalanan ini biasa saja, tapi bagi saya pribadi perjalanan
ini perjalanan yang paling banyak mengubah saya sebagai pejalan itu sendiri.
Terburu-buru kami mengejar bis yang hendak
berhenti, “gilmanuk pak?” Tanya
bang oci, “iya dek, naik aja, langsung cari tempat duduk yang kosong”, balas
kernek bis jurusan Banyuwangi itu.
Tengah malam di pinggiran jalan Menguwi, saya
memulai langkah sendirian, membawa si merah yang selalu setia di pundak.
Perjalanan ke Sumatera dari Bali adalah perjalanan pertama saya sejauh itu
seorang diri. Meyakinkan diri ketika seorang diri di atas kapal penyebrangan
Bali-Jawa bahwa semua pasti berjalanan sesuai rencana.
Pukul 04.00 WIB saya tiba di Banyuwangi,
berjalan seorang diri dari pelabuhan Ketapang ke Stasiun Banyuwangi Baru cukup
membuat saya menjadi pusat perhatian. Sempat digodaian abang-abang yang mengira
saya ketinggalan bis karena ketiduran, atau sempat disamperin kernek-kernek
trek karena dikira nyari tumpangan
gratis, syukurlah masih selamat sampai stasiun.
Perjalanan 13 jam di kereta seorang diri itu
sangat membosankan. Membawa 2 bekal buku yang niat saya habiskan selama
perjalanan ternyata hanya tersentuh sebentar, selebihnya saya gunakan untuk
tidur, sisanya ngobrol dengan Ibu-Ibu yang sudah tau saya tidak bisa bahasa
Jawa tetap aja diajak ngomong bahasa Jawa.
muka bangun tidur |
Pukul 19.30 WIB saya tiba di Jogjakarta
dijemput ayuk yang lupa bawa helm, jadinya kami harus mencari jalan belakang
yang cukup jauh untuk sampai di kosannya. Kenyataanya, ayuk dan anggit besoknya
akan berangkat ke Lombok, dan saya sore harinya berangkat ke Jakarta.
Setelah mengantar ayuk ke bandara, saya
melanjutkan tidur dan packing. Menjelang keberangkatan hujan menguyur
Jogjakarta begitu deras, perasaan bingung mulai menghampiri, setelah memesan
gojek yang abang-abangnya juga kehujanan, saya memohon untuk melajukan motornya
agar sampai di stasiun Lempuyangan tepat waktu. Stasiun saat itu begitu ramai
dan pada karena semua orang kehujanan dan tampak terburu-buru mengejar kereta.
Saya datang dengan tampang setengah basah dan tidak bisa berlari karena takut
terpeleset walaupun saya tahu kereta sudah siap berangkat.
Perjalanan 8 jam menuju Jakarta juga cukup
membosankan, walaupun berangkat bersama Andre tapi kami beda tempat duduk, jadi
tetap seperti berjalan sendirian. Kami tiba di stasiun Pasar Senen pukul 23.30
WIB, kemudian naik gojek ke apartemen Naya. Untuk pertama kalinya bertemu Naya
dan dia dengan baik hati mau memberi tumpangan.
Pagi yang cukup cerah mengantar
keberangkatanku ke Bandara Soekarno-Hatta menggunakan Bis Damri. Sebenarnya
perjalanan ke Kerinci berjumlah 4 orang, hanya saja karena tiket untuk
penerbangan malam hari harganya dua kali lipat dari penerbangan siang, maka
saya memutuskan mengambil penerbangan siang ke Padang seorang diri.
naik damri seorang diri |
di pesawat juga seorang diri |
Bertemu orang baik di Padang
Untuk pertama kalinya menginjakan kaki di
tana minang seorang diri, berbekal pertemanan yang bisa sangat membantu banyak
hal, maka teman saya di Jakarta si jek, mengenalkan saya dengan abang dia di
Padang, bang Niko.
Siang yang cukup terik menyambut kedantangan
saya di bandara Minangkabau, Padang , Sumatera Barat, dengan tergopoh-gopoh
saya keluar bandara dengan niat mencari travel dari padang ke Kayu Aro, namun
yang saya dapatkan malah harga travel yang sangat mahal jadi saya mengurungkan
niat untuk langsung membooking travel
tersebut.
Sedikit kebingungan mencari tempat duduk di
sekitaran bandara, tidak sama dengan bandara Ngurah Rai atau Soeta tempat duduk
dengan mudah ditemukan. Akhirnya setelah berjalan sedikit jauh saya menemukan
ruang smoking area yang menyediakan
tempat duduk. Handphone saya berdering pertanda dari telpon dari bang Niko,
ternyata bang Niko sudah berdiri di depan saya. Ah akhirnya bertemu juga dengan
orang itu, badannya tegak seperti pria Minang pada umumnya.
Pertemuan saya dengan bang niko cukup cair,
dia pribadi yang menyenangkan, pengetahuannya cukup luas, dan tentu saja baik
sekali, terbukti dari kesedian dia menjemput saya di bandara Minangkabau,
padahal bandara dari kota padang itu cukup jauh.
halo padang |
Namun karena keterbatasan waktu, saya hanya sempat
diajak berkeliling kota Padang saja. Hingga malam menjemput, masalah lain
datang, Naya ketinggalan pesawat. Jadi dia terpaksa menyusul keesokan paginya. Akhirnya
Kami berempat terpisah-pisa, Andre dan Bayu menginap di rumah kang ojek karena
bandara Minang tidak buka 24 jam jadi tidak diperbolehkan menginap di bandara,
sedangkan Naya menginap di bandara Soekarno Hatta untuk menunggu penerbangan
pertama di pagi hari berikutnya. Dan
saya terpaksa menginap di kosan teman bang Niko, kak Layla. Orangnya polos
dengan baik hati mau menerima orang asing menumpang di kamarnya. Kami sempat
mengobrol banyak, tentang Indonesia, dan mengapa saya bisa tedampar di Padang
seperti saat itu. Dia belum pernah keluar Sumatera Barat, karena itu pada saat
saya menceritakan kota asal saya, Toraja, dan tempat tinggal saya, Bali, dia
begitu antusias mendengarnya.
rumah adat minangkabau |
sesenang itu di bawa ke sini walaupun bukan di Bukit Tinggi langung |
museum adaat minangkabau |
Pagi itu saya dikagetkan dengan telvon dari Andre
bahwa sebentar lagi saya akan dijemput travel dan nyatanya saya baru saja
bangun tidur. Pagi yang dimulai dengan terburu-buru sangatlah tidak enak.
Setelah menyelesaikan packingan saya
pamit kepada kak Layla dan Dia memberikan saya sekantong plastik buah yang katanya
untuk bekal di jalan. Betapa saya beruntung selalu bertemu orang-orang baik
disetiap persinggahan. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian.
Kersik Tuo, Kerinci, Jambi
“kalian turun di sini yah, di depan sana ada
penjual sayur kok” ucap supir travel sambil menurunkan tas-tas kami. Sesaat
setelah mobil travel itu berlalu kami beranjak mencari basecamp, setelah mengingat-mengingat dari informasi yang kami
dapatkan, sepertinya kami berada di Pintu Rimba Gunung Kerinci, untunglah
selang berapa lama kami bertemu dengan pendaki yang baru turun dan ternyata
benar dugaan kami berada di pintu rimba, sedangkan basecamp kerinci terletak lumayan jauh di bawah sana. Kami memutar
langkah dan kembali berjalan kira-kira sejam kemudian bertemu dengan 2 orang
pemuda yang menawari untuk mengantar kami ke basecamp Jejak Kerinci yang
jaraknya cukup jauh.
Pukul 19.00 kami tiba di basecamp Jejak Kerinci,
di sana kami juga bertemu dengan 2 tim yang akan melaukan pendakian keesokan
harinya, satu dari Padang, satunya dari Jakarta. Di Basecamp ini kamu bisa
menumpang dengan hanya membayar
seiklasnya, ibunya juga dengan senang hati memasakan kita makanan. Di dinding
basecamp ini, banyak sekali foto-foto penggapaian orang-orang di puncak Indra
Pura, seolah memberi tahu bahwa tempat ini sudah sering menjadi saksi dari
mimpi orang-orang yang pernah menapaki titik tertinggi itu.
Memulai
Pendakian
Kami memulai pendakian dengan berkendara
dengan mobil sewaan dari basecamp ke pintu rimba, kira-kira 10 menit dan
kemarin kami menempuhnya dengan berjalan kaki kurang lebih sejam. Pendakian
hari itu cukup ramai, ada sekitar 5 rombongan yang mendaki pagi itu, padahal
biasanya pendakian ke kerinci tergolong sepi mungkin karena saat itu bertepatan
dengan hari libur.
baru mulai emang masih senang |
Pintu Rimba-Pos
1 (20 menit)
Jalur ke pos 1 terbilang landai, hanya saja
cukup becek dan licin, hutan masih tertutup rapat. Jalur di sini masih sangat
enak, hati masih senang gembira ketika berjalan di jalur ini.
perjalanan ke pintu rimba |
Pos 1-Pos 2
(20 menit)
Pos 1 di beri nama Bangku panjang karena
terdapat bangunan yang dicor berukuran panjang.
Jalur masih sama dengan jalur pintu rimba-pos1, hanya saja di jalur ini
sudah tidak selandai pos 1, sudah sedikit nanjak yang semakin menambah rasa
mendaki di gunung sumatera.
je, kansa, naya |
Pos 2-Pos 3
(50 menit)
Pos 2 disebut Batu Lumut, karena jika
berjalan sedikit ke arah kiri, maka kita akan berjumpa dengan sungai kecil yang
banyak batu berlumutnya. Di pos ini kami sudah banyak bertemu dengan pendaki
yang baru naik.
ketemu kansa pendaki cilik |
ramai |
Pos 3- Shalter
I (80 menit)
Pos 3 adalah satunya-satunya pos yang ada
bangunan gazebonya, kedua pos sebelumnya hanya ditandai dengan papan nama dan
tiang pertanda pos. jalan ke Shalter I sudah mulai menanjak, sudah harus jeli memilih
pijakan yang tepat dan terdapat pohon besar yang mistis dikalangan pendaki. Di Shalter
I biasa digunakan untuk camping ground,
karena tempatnya yang cukup luas bisa berdiri banyak tenda.
shalter I |
ketemu pendaki lain
|
Shalter
I-Shalter II (3 jam)
Perjalanan terlama selama trek kerinci
sekaligus terberat karena banyak menguras emosi. Di trek inipula kami terkena
hujan yang menambah beratnya perjalanan. Di jalur ini kita akan bertemu dengan
trek yang berbentuk seperti goa sehingga kita harus sedikit membungkuk untuk
melewatinya. Jalur pijakan juga tidak bisa ditempuh dengan mengayunkan kaki
seperti jalan biasa, namun dengan sedikit memanjat, disini kesiapan tangan untuk
memegang dan kaki untuk memilih pijakan sangat diperlukan. Setelah berjalan
selama hampir 3 jam kita akan bertemu denga pos bayangan yang sedikit terbuka,
jarak pos bayangan ke Shalter II hanya 10 menit. Pukul 18.00 Wib kami tiba di
shalter II, kebanyakan para pendaki mendirikan tenda di sini, namun kami
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Shalter III.
istirahat sejenak |
manjat dek manjat |
berjalan hingga lelah |
menyelusuri hutan |
mendaki ke gunung tinggi sekali |
ngambilnya pas ujan, jadinya ngeblur |
Shalter
II-Shalter III (80 menit)
Sebenarnya jarak tempuh normalnya hanya 45
menit namun kami sampai 80 menit, itu dikarenakan kami memutuskan berjalan saat
hari sudah gelap, trek ke Shalter III pun lsama menguras emosi dengan shlater II, karena banyak sekali jalur yang mengharuskan kita memanjat.
Terlebih kami semua tidak ada yang tahu jalur, jadi seolah mencari pijakan yang
tepat untuk melangkah kemudian memberi tahu yang dibelakang. Itulah mengapa kami
cukup lama dijalur ini.
hati hati bang |
Shalter III sudah terbuka, letaknya seperti di
punggung gunung. Apesnya setelah berniat mendirikan tenda, fream tenda kami banyak yang putus dan tenda basah. Jadi butuh
waktu yang tidak sebentar untuk mendirikan tenda dalam keadaan fream yang putus. Untunglah tetangga
tenda sebelah abang-abang dari Padang mau memberikan saya dan Naya makanan yang
sudah sangat kelaparan, dan mempersilakan kami ke dalam tendanya karena kami
kedinginan.
Shalter III-Tugu
Yuda
Pagi itu begitu dingin tapi tidak
menghentikan langkah kami menuju puncak Indra Pura, tepat pukul 04.30 kami memulai
pendakian ke puncak. Trek ke puncak itu berpasir tapi pasirnya tidak sehalus
mahameru, banyak batu-batu yang menghiasi perjalanan. Setelah berjalan sekitar
90 menit kita akan bertemu lahan datar luas yang disebut Tugu Yuda. Tempat ini
diberi nama Tugu Yuda karena dahulu ada pendaki yang hilang di sini bernama
Yuda setelah turun dari puncak. summit kali
ini kami kekurangan air, karena ternyata di Shalter III mata airnya tak ada air. Jadi kami hanya
membawa sebotol air yang rasanya jangan ditanya, bikin mual karena rasa belerang. Untunglah kami
membawa beberapa potong semangaka sebagai penghilang dahaga.
jalur ke puncak |
halooo |
Tugu
Yuda-Puncak Kerinci
Normalnya dari Tugu Yuda ke Puncak Indapura
hanya 30 menit namun di tengah jalan, tiba-tiba asap tebal menutupi jalur, mata
terasa perih, nafas mulai tak beraturan, batuk-batuk terdengar dari beberapa
pendaki yang hendak berjalan menuju puncak. Gerimis jatuh perlahan membasahi
tubuh membawa abu belarang yang berjatuhan di jaket. Semuanya berbalik arah
turun dari puncak, “turun aja mbak, asap belerangnya makin tebel” sebuah ajakan
yang tidak langsung ku iyakan. Saya melihat 3 orang kawan saya yang masih
berhenti seolah bingung mau lanjut apa tidak. Sedangkan saya sekitar 5 meter
dibelakang mereka, tampak ciut kemudian berbalik belakang ternyata masih ada
bang Galih yang mau melanjutkan perjalanan. “Bang bareng yah ke puncaknya, yang
lain turun katanya bahaya” ucapku penuh harap. “iya tunggu hujannya reda aja, berlindung
aja dulu di balik batu” teriak andre daria atas sana. Pikirku dalam hati, perjalanan ini sudah
terlalu jauh, puncak tinggal berapa langkah lagi, semoga berjodoh dengan puncak
kerinci, kemudian beberapa saat hujan berhenti, asap tebal mulai terbawa angin,
jalur mulai terlihat lagi dan kami memulai langkah kembali.
Terdengar teriakan Bayu yang lebih dahulu
sampai puncak, kemudian disusul dengan yang lain. Ah rasa haru diluar akal sehat
bisa sampai di sini, tanah ke dua tertinggi di Indonesia. Tampak pemandangan Danau
Gunung Tujuh yang merupakan danau tertinggi di Asia berpadu dengan pijakan yang
berbatasan langsung dengan jurang kawah yang masih aktif. Sungguh perasaan
yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata biasa, semua yang keluar dari
mulut hanya ungkapan hiperbola semata terlebih cuaca yang sebelumnya mendung
mendadak kami diberi awan putih yang bergumpal-gumpal seolah ingin menyambut
kedatangan kami, ah akhirnya kaki saya bisa berdiri di sini, Gunung Berapi
tertinggi di Indonesia. Terima kasih gunung Kerinci mengizinkan saya untuk
menapakimu.
orang-orang yang berhasil melanjutkan perjalanan hingga akhir |
naya, si cewek pantang menyerah |
kansa, anak umur 10 tahun, udah nginjak banyak gunung |
-------
Perjalanan ke gunung kerinci ini adalah
perjalanan terjauh saya seorang diri. Perjalanan yang banyak mengubah pola
pikir dan sikap saya, kenapa ? karena saya berhasil keluar dari zona nyaman
saya sendiri yang biasanya naik gunung dengan mereka (my bro n my sis) sekarang
bersama mereka yang baru saya kenal. Bagaimana merubah presepsi saya yang dulu
yang terpenting dari sebuah perjalanan itu
bersama siapa, ternyata mulai bergeser. bagaimana cara menyamakan sudut pandang dengan
mereka yang berbeda dengan saya . Namun yang paling penting bagaimana saya bisa
berjalan sendiri sejauh ini, mendaki sendiri setinggi ini tanpa ada embel-embel
manja kepada mereka yang selalu mengerti keadaan saya, kemudian berusaha
menerima sesuatu yang belum tentu saya sukai, dan tentu saja mengamati dan
mengerti karakteristik orang-orang yang kau temui adalah hal yang menyenangkan.
Ternyata benar kata orang-orang, semakin kamu berjalan jauh, semakin akan
banyak merubah diri mu sendiri.
Terima kasih Tuhan satu resolusi
tahun ini terselesaikan dengan sangat baik.
Jadi
udah beranikan berjalan semakin jauh lagi seorang diri je?
semakin kaki jauh berjalan, semakin kita tahu batas dalam diri kita, semakin pula kita menjadi mengerti banyak hal. |
How to get there :
- meskipun Gunung kerinci termasuk dalam wilayah Jambi, namun lebih dekat ketika kita berangkat dari Padang
-Dari bandara Minangkabau, Padang dilanjutkan naik travel Ke Kersik Tou Jambi, sekitar 7 jam , ada alternatif lain, naik damri ke terminal kemudian lan travel yang pastinya lebih murah daripada travel di bandara.
- jika punya uang lebih, berhentilah di penginapan sekitaran kaki gunung kerinci, namun jika ingin yang lebih murah (bayar seiklasnya) dan bertemu pendaki lain silakan berhenti di Basecamp Jejak Kerinci, berdekatan dengan Pasar , Tugu Macan mdan PLN di Kersik Tuo.
-dari basecamp ke pintu rimba bisa menyewa angkot, tanya saja pada penghuni tetap basecamp.
- meskipun Gunung kerinci termasuk dalam wilayah Jambi, namun lebih dekat ketika kita berangkat dari Padang
-Dari bandara Minangkabau, Padang dilanjutkan naik travel Ke Kersik Tou Jambi, sekitar 7 jam , ada alternatif lain, naik damri ke terminal kemudian lan travel yang pastinya lebih murah daripada travel di bandara.
- jika punya uang lebih, berhentilah di penginapan sekitaran kaki gunung kerinci, namun jika ingin yang lebih murah (bayar seiklasnya) dan bertemu pendaki lain silakan berhenti di Basecamp Jejak Kerinci, berdekatan dengan Pasar , Tugu Macan mdan PLN di Kersik Tuo.
-dari basecamp ke pintu rimba bisa menyewa angkot, tanya saja pada penghuni tetap basecamp.
How much does it cost:
-Tiket Jakarta-Padang Rp.450.000
-Bandara Minangkabau-Kersik Tuo Rp. 140.000
-Basecamp-Pintu Rimba Rp.15.000
-SIMAKSI Kerinci Rp.7.500/orang/hari
0 comments:
Post a Comment