Perjalanan ke
Gunung Kerinci adalah pengalaman naik gunung saya yang paling tidak akan
terlupakan, walaupun memang semua pendakian saya itu tidak akan terlupakan sih
hahaa tapi pendakian inilah yang paling mengajarkan banyak hal terutama tentang
batas dan kemampuan diri.
Ini adalah
pendakian pertama kali saya hanya berdua. Dan itu sama pacar sendiri. Bagi orang-orang
yang mendambakan mendaki berdua pacar ke gunung itu enak, saya akan mengatakan
itu tidak benar, bahkan bisa dibilang jauh lebih enak naik gunung itu yah
4-5orang. Karena Esensi dari Naik gunung itu adalah bersinergi dengan team pendakianmu untuk mencapai tujuan akhir. apalagi Gunung yang harus memakan waktu berhari-hari seperti Kerinci.
Pendakian kami
sebenarnya diawali dengan rencana 3 orang, namun sesampainya di Padang, abang Felix membatalkan
keikutsertaannya. Saat itu saya sedikit kecewa, karena kami sudah menyiapkan logistik
untuk 3 orang, ada juga beberapa perlengkapan yang kami
berharap dibawa olehnya. Tapi sudah jauh-jauh ke Padang, masak harus mundur? Baiklah,
dengan bekal pengetahuan saya yang sudah pernah mendaki Gunung Kerinci
sebelumnya, kami memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan.
Kali
ini saya tidak akan menjelaskan kronologi dan informasi lengkap seputar pendakian
kerinci seperti apa, karena sudah pernah
saya tulis sebelumnya. Disini..
***
Suasana Bandara
Minangkabau yang tampak ramai dan sedikit mendung menyambut kedatangan kami, Sesampainya
di Padang kami belum memesan travel ke Sungai Penuh, Kerinci. Apesnya saat kami
mencari-cari travel semuanya sudah full,
maklum saat itu sedang libur panjang. Untunglah, saya mendapatkan nomor travel yang
pernah kami pakai sebelumnya dulu dan belum full. Kami sempat terlantar di sebuah warung kecil samping RS Semen Padang kurang lebih 2 jam untuk menunggu jemputan travel.
Kami sampai di
basecamp jejak kerinci pukul 04.00 dini hari, dan akan langsung berangkat
paginya, yang saya ingat saat
itu ada 3 rombongan , dari Jakarta dan Bengkulu yang akan naik pagi itu juga. Namun
karena kami harus mem-packing ulang
bawaan kami, jadilah kami ditinggal naik duluan.
Pagi itu saya
dan zem masih pusing mencari peralatan yang kurang seperti : matras, gas,
pisau, dan sayur mayur untuk tambahan logistik.
Pasar samping
basecamp pun masih tutup jadi kami benar-benar kebingungan, untunglah ada satu
kios yang sudah menjual berbagai peralatan yang kami butuhkan, kecuali
sayur-mayur.
Akhirnya kami
pasrah, makanan selama pendakian bertumpuh pada makanan yang kami beli di
supermarket seperti, Abon, Kerupuk, Mie instan, dan Ikan kecil Medan yang sudah
diawetkan.
pemandangan di depan basecamp, cerah banget, pas masuk ke dalamnya ampun deh |
Sebelum kami
berangkat ke Pintu rimba, saya menyuruh Zem mengecek kembali ke pasar, sapa tau sudah buka. Dan puji Tuhan
, zem berhasil membawa Buncis dan Terong. Lumayan dari pada tidak ada sayur
sama sekali.
Kami akui
pendakian kali ini bisa dibilang berantakan
karena kurang persiapan, terlebih dari segi management
logistic dan peralatan mendaki yang sebenanrnya dibagi 3 orang namun harus
kami cukupkan terisi di 2 carier saja.
Perjalanan kami
juga sungguh luar biasa dramatis, karena sudah lama tidak membawa carier jadi kami berdua sungguh
kewalahan dengan berat carier kami. Untunglah
kami bertemu dengan Team Bengkulu di perjalanan sehingga mereka sangat banyak
membantu kami, bahkan di perjalanan mereka mau membawakan carier kami, karena mungkin mereka melihat kami begitu kepayahan selama pendakian, jadi carier Zem
dioper ke mereka, dan carier saya ke
zem, dan saya membawa daypack mereka.
Sungguh terbekatilah kami. Mengenai gengsi carier dibawakan mah udah
bodo amat hahhaa dan inilah yang paling saya kuatirkan jika mendaki hanya berdua, berat carier yang tak bisa dibagi seringan-ringannya.
Lebih dramatisnya
lagi, dari siang Kerinci sudah terkena badai, sehingga kami memutuskan untuk camping di shalter 2. dari Siang tenda benar-benar diterpa angin, sampai besok pagipun menjelang summit angin tak reda-reda jua.Bahkan team Bengkulu
memutuskan untuk tidak summit dan
langsung turun saja. Namun saya dan zem masih ingin berusaha, “sudah jauh-jauh masak tidak mencoba ke
puncak?” itu adalah motivasi kami menuju puncak indrapura ditengah badai
yang mengamuk.
Pukul 07.00 kami
berdua bergegas menuju puncak, seperti yang kalian tahu perjalanan dari shalter
2 ke 3 adalah Real Pendakian. Beruntungnya
kami lagi, diperjalanan kami bertemu dengan abang dari Jambi yang menemani kami
sepanjang perjalanan ke puncak.
Seketika kami
merasa bahwa Tuhan benar-benar memberkati kami, dipertemukannya dengan
orang-orang baik yang mau menolong kami.
Diperjalanan ke
puncak kami diterpa badai angin yang sepanjang sejarah perjalanan pendakian saya
adalah paling parah. Kami harus jalan dibalik batu agar bisa menghindar dari
terpaan angin, atau kami harus duduk jika tidak ada batu untuk menghalangi tiupan
angin. Bahkan ada part di mana kami
harus jalan berpegangan tangan karena sekelilingnya jurang lagi-lagi agar tidak
jatuh terhempas angin.
Diperjalanan kami
bertemu dengan pendaki lain yang sudah turun dan tidak sampai di puncak. Kemudian
memberikan sugesti bahwa angin di atas lebih kencang dari angin di sini. Dan menyarankan kami pula untuk tidak melanjutkan
perjalanan.
Sempat bimbang,
namun mereka menyerahkan keputusan kepada saya. Akhirnya saya memutuskan untuk
tetap naik. Pagi itu kami adalah romongan terakhir yang masih berjalan menuju
puncak.
Namun mendekati
Tugu Yuda, saya goyah karena tangan saya sangat sakit karena sudah pucat
membeku kedinginan, muka saya sudah
tidak berasa karena diterpa angin terus menerus, dan seluruh tubuh saya yang
sudah basah kuyup. Saya berbalik, memberikan kode kepada Zem. Lagi-lagi dia
menyerahkan keputusannya kepada saya. Pandangan saya beralih ke bawah, melihat
semua jalur tertutup kabut, dan angin yang semakin kuat menghajar kami
habis-habiskan. Untuk pertama kalinya, ego saya untuk mencapai puncak, luruh.
Saya memutuskan
menghentikan perjalanan, karena nyawa kami menjadi taruhannya. “Untuk apa memuaskan ego hanya untuk mencapai
puncak yang kami gapai kurang dari 1 menit?” Pemahaman seperti itu muncul
ditengah perjalanan menuju puncak Indra Pura. Bukan karena kami tidak mampu,tapi
alam sedang tidak mengizinkan siapapun mencapai puncak indrapura. Dan benar,
dari tanggal 24-26 Desember 2017 tidak ada satupun pendaki yang berhasil menapaki
puncak Indrapura, termasuk kami.
Alam sedang
memperlihatkan kuasanya, dan tak ada satupun yang mampu melawannya.
Diperjalanan
pulangpun , kami harus berhati-hati karena jarak pandang hanya 1 meter dan
hujan turun tanpa ampun menambah kedramatisan pendakian kami. Sesampainya kami di Shalter 3, Bang Jambi
menumpang di salah satu tenda meminta api kompor untuk menghangatkan tangan
kami yang benar-benar sudah membeku.
Pukul 12.15 kami
tiba di Shalter 2, abang-abang dari Bengkulu sudah meninggalkan kami. Namun baiknya
lagi, dia membawakan kami 1 carrier, meninggalkan sepiring nasi goreng dan sepucuk
surat agar kami tidak usah masak lagi. Lagi-lagi Tuhan begitu baik kepada kami.
Sayangnya, semua
baju bersih kami terbawa di carrier
yang dibawa mereka, jadi kami tidak ada baju kering lagi. Untungnya saya pakai
baju berlapis-lapis jadi baju yang paling dalam tidak terlalu basah. Kasiannya
zem, Dia benar-benar menggigil, dan dia sempat bilang “dek, udah gak kuat,
dingin banget” sambil menggigil hebat, akhirnya saya berlari ke tenda abang Jambi tadi memohon meminta
baju kering mereka buat zem. Karena bisa mati anak orang kalau sampai dia tidak
ganti baju.
Saat itu saya benar-benar merindukan matahari, dan berkeinginan kuat bisa mengendalikan angin seperti Avatar :")
Setelah makan
dan menghangatkan diri di kompor, kami bergegas untuk turun dan harus bergerak
cepat. Pukul 13.30 kami turun dari
shalter 2. Dengan harapan sebelum gelap kami sudah harus sampai di pintu rimba.
Sepanjang perjalanan turun sudah sangat sepi pendaki, jadi hanya kami berdua
berjalan menembus hutan kerinci. Diselingi dengan pendaki-pendaki yang baru
naik. Kondisi jalur yang sangat becek membuat hampir sekujur tubuh itu kotor
dan basah karena lumpur. Namun kami harus terus melangkah bahkan istirahatpun
sangat jarang karena lelah ingin cepat-cepat sampai.
masih niat ambil kamera buat foto, perjalanan turun ke shalter 1 |
Tepat pukul
18.15 kami sampai di Pintu Rimba. Dan lagi-lagi untuk pertama kalinya selama
mendaki, saat melihat secercah cahaya di pintu rimba, Sambil memeluk Zem saya
menangis saking terharunya. dan mengucapkan ucapan syukur tanpa henti kepada Tuhan, kami bisa sampai di titik ini lagi. Dan semakin menangis ketika tau Zem itu sudah
kesakitan selama perjalanan dari Shalter 1, karena dia itu ada riwayat Usus
Turun. Dan perjalanan turun rentan akan itu. Dan dia diam saja menahan sakitnya
tanpa memberitahu saya karena takut perjalanan akan terhambat.
Iya, saya menangis bukan karena tidak bisa menemani Zem menggapai Puncak Indra Pura, tapi saya menangis karena kami bisa kembali pulang dengan selamat mengingat bagaimana perjuangan kami selama pendakian ini.
Iya, saya menangis bukan karena tidak bisa menemani Zem menggapai Puncak Indra Pura, tapi saya menangis karena kami bisa kembali pulang dengan selamat mengingat bagaimana perjuangan kami selama pendakian ini.
satu-satunya foto berdua, foto tidak instagramable pula, separah itu badainya sampai keinginan fotopun malas. |
.
Perjalanan kami
berdua ke Kerinci ini bukan tentang menggapai tanah tertinggi Sumatera, lebih
dari pada itu, proses perjalanan yang semakin menyadarkan saya bahwa saya tidak
salah pilih orang, saya mempunyai batas diri, saya menjadi tau di mana titik kelemahan, pun punya kekuatan yang bisa saya andalkan, Dan yang terpenting kebaikan Tuhan kepada
kami sungguh luar biasa. Pendakian ini pula menjadi kado natal yang tidak akan
pernah terlupakan.
"de fotoin di sini yah, belum ada foto sama sekali di sini" pintu rimba |
Terima Kasih
teman-teman yang menolong kami selama pendakian, tidak terbayangkan tanpa
mereka, kami berdua mungkin sudah menyerah, Terima kasih Zem menjadi teman
pendakian yang mau diajak susah dan mengerti segala kondisi kita, Terima kasih
Kerinci untuk alammu yang mengamuk sesaat memperlihatkan kuasamu pada kami manusia yang
kecil ini, dan Terima Kasih Tuhan Sekali lagi membawa saya diperjalanan luar
biasa sekaligus menjadi penutup tahun 2017 yang menakjubkan ini.
satu-satunya foto selfie berdua, ini di pintu rimba, waktu gue nangis terharu |
Gunung Kerinci, 23-26 Desember 2017.
0 comments:
Post a Comment